[Serial Tropikanisasi dan Kooperatisasi – Edisi 10 September 2025] – Biaya Kelalaian: Mengapa Indonesia Masih Berkubang dalam Krisis Pangan?
Oleh: Agus Pakpahan
Data terbaru mengungkap tiga fakta keras tentang sistem pangan Indonesia yang gagal memanfaatkan kekayaan tropisnya:
1. Stunting 21.5%: Bom Waktu Generasi
Sebanyak 21.5% balita Indonesia (1.7 juta anak) mengalami stunting—kerusakan kognitif dan fisik permanen akibat kekurangan gizi kronis. Bank Dunia menghitung, kelalaian ini membebani ekonomi Indonesia sebesar $18.5 miliar per tahun dalam bentuk hilangnya produktivitas dan biaya kesehatan. Setiap anak yang stunting akan tumbuh menjadi dewasa dengan kapasitas kerja terbatas, memperpanjang siklus kemiskinan.
2. Food Budget Share 37.5%: Cermin Kemiskinan Struktural
Rumah tangga Indonesia masih menghabiskan 37.5% pengelurannya hanya untuk membeli makanan—angka yang hampir enam kali lipat dibanding Amerika Serikat (6.4%) dan dua kali lipat dibanding Malaysia (17%). Tingginya proporsi ini bukan karena masyarakatnya “doyan makan”, melainkan karena pendapatan yang rendah dan harga pangan yang mahal akibat ketergantungan impor dan inefisiensi sistem distribusi.
3. Impor Gandum 70%: Kebocoran Devisa dan Kolonialisme Selera
Indonesia mengimpor 70% kebutuhan gandumnya, menyedot devisa sebesar $5.2 miliar per tahun. Ironisnya, gandum yang tidak tumbuh di iklim tropis ini justru menjadi bahan dasar bagi mi instan dan roti yang mendominasi pola konsumsi masyarakat. Ketergantungan ini adalah warisan kolonialisme pangan yang mengubah selera nusantara dan mengabaikan pangan lokal yang lebih bergizi seperti sagu dan sorgum. Fabiosa (2006) menamakannya Westernization of Indonesian Diet. Fabiosa menemukan bagi masyarakat Indonesia beras menjadi berstatus inferior. Artinya, pendapatan meningkat belanja berasnya berkurang, beralih ke gandum.
Jalan Keluar: Tropikanisasi sebagai Solusi
Tiga masalah di atas bersumber dari kegagalan yang sama: pengingkaran terhadap kekayaan tropika, tak mensyukuri berkah Allah Swt yang diberikan kepada kita sebagai bangsa tropika.
Solusinya tidak bisa parsial, tetapi memerlukan transformasi sistemik:
1. Ganti impor gandum dengan sagu/sorgum dalam program bantuan pangan pemerintah.
2. Alihkan subsidi impor ke riset pangan lokal untuk menciptakan inovasi berbasis biodiversitas.
3. Investasi pada gizi anak dengan memanfaatkan bahan lokal seperti dedak padi (rice bran) yang kaya zat besi dan zinc.
Dengan strategi ini, Indonesia bukan hanya menghemat devisa, tetapi juga membangun generasi yang lebih sehat dan produktif—modal dasar untuk menjadi negara berpendapatan tinggi.
Lampiran: Data Perbandingan Food Budget Share
Negara Food Budget Share Ratio vs Indonesia
Indonesia 37.5% 1.00x
Vietnam 35.0% 0.93x
Thailand 25.5% 0.68x
Malaysia 17.0% 0.45x
Amerika Serikat 6.4% 0.17x
Sumber: BPS (2023), USDA (2023), Bank Dunia (2024)