Mencari Guru Besar Ilmu Koperasi di Karang Tumaritis

[Serial Tropikanisasi-Kooperatisasi – Edisi 22 September 2025]

Oleh: Agus Pakpahan

Lokasi: Padepokan Lurah Semar Kudapawana di Karang Tumaritis. Suasana sakral namun akrab, dihiasi tujuh jenis bunga lokal yang indah dan nasi tumpeng lengkap dengan lauknya plus kopi dengan gula aren dan suguhan makanan lokal yang menyehatkan dan menyegarkan.

Pemain:
·Semar (sesepuh, moderator bijak)
·Punakawan: Gareng, Dawala, Cepot
·Para Ksatria & Penasihat: Kresna, Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, Gatotkaca, Antareja, Bambang Ekalaya

(Dialog Dibuka)

Semar: (Duduk bersila di tengah, menyalakan dupa) ” Wilujeng sumping di Karang Tumaritis para gusti. Tempat ini mah tempat pengembangan para kaum intelektual nu hayang nyiar hakekat. Hari ini kita akan membahas satu perkara yang sudah menjadi darah daging konstitusi, tapi masih terbilang langka pembahasannya dalam ranah élmu: Koperasi.”

Kresna: (Mengangguk pelan) “Leres, Ki Semar. Koperasi ibarat Bima yang kuat tapi bingung menggunakan kuku pancanaka-nya, atau Arjuna yang lupa di gandiva-nya ada pasopati. Ia ada, tapi potensinya terabaikan.”

Yudistira: “Sebagai pemimpin, ini membuat saya hariwang (cemas). UUD Pasal 33 jelas ngawajibkeun. Tapi mengapa ia tidak menjadi rumpun ilmu mandiri? Mengapa para profesor dan doktor jarang yang menjadi guru besar-nya?”

Arjuna: “Izinkan saya membuka dengan pertanyaan mendasar. Secara ontologis, apa sebenarnya Koperasi itu? Badan usaha? Gerakan sosial? Atau entitas hybrid?”

Bambang Ekalaya: (Bicara dengan tenang, yakin) “Gusti Arjuna. Bagi saya yang belajar sendiri di hutan, ontologinya jelas: ia adalah kumpulan kedaulatan individu yang melebur menjadi kedaulatan kolektif. Hakikatnya adalah mandiri dan berbagi, bukan gumantung (bergantung) atau menumpuk.”

Semar: “Pinter pisan! Koperasi ieu mah ngumpulna jalma-jalma nu sadar. Ontologina téh silih asah, silih asih, silih asuh dalam bingkai ekonomi. Bukan silih serang seperti dalam kompetisi.”

Dawala: “Nah, kalau begitu, epistemologis-nya gimana, Ki? Ilmunya dibangun dari mana? Ekonomi, sosiologi, hukum?”

Kresna: “Epistemologinya adalah multidisiplin yang terintegrasi. Ia meminjam metode ekonomi untuk menghitung efisiensi, tetapi memaknainya dengan etika keadilan. Ia meminjam teori sosiologi tentang solidaritas, tetapi mengarahkannya pada problem solving ekonomi kerakyatan. Ia meminjam ilmu matematika untuk menjelaskan mengapa himpunan petani kecil dalam koperasi bisa menghasilkan pendapatan lebih banyak daripada BUMN dan konglomerat swasta kita. Inilah keunikannya! Ia ilmu terapan yang lahir dari pengalaman kolektif mengatasi masalah, bukan hanya teori di menara gading.”

Gareng: “Lalu, aksiologis-na? Nilai gunanya untuk apa? Untuk siapa?”

Bima: (Suara menggelegar) “Untuk kaadilan, Gareng! Bukan untuk beunghar-na-sorangan! Koperasi adalah pakarang (senjata) untuk melawan ketimpangan! Nilai gunanya adalah membangun common prosperity, bukan individual prosperity!”

Nakula & Sadewa: (Serempak) “Kesejahteraan yang inklusif, Kakak. Di situlah nilainya.”

Gatotkaca: “Saya setuju. Seperti saya terbang, koperasi harus mengangkat semua penumpangnya, bukan hanya yang duduk di kelas pertama.”

Antareja: “Dan seperti racun saya, kompetisi tanpa kendali itu maéhan (mematikan). Hanya dengan kerjasama, kita punya penawarnya.”

Kresna: “Itulah yang disebut Nash Cooperative Equilibrium. Pilihan rasional untuk mencapai hasil terbaik justru adalah dengan kerjasama, bukan konflik. Win-win hanya mungkin lahir dari semangat cooperation, bukan competition.”

Arjuna: “Lalu, apa artinya kaum intelektual dan akademisi kita justru mengabaikan ilmu ini? Mereka seolah lebih nyaman dengan teori kompetisi ala Astina?”

Semar: (Dengan nada prihatin) “Ieu hartina, kaum menak intelektual geus kasirep ku elmu impor. Mereka menganggap koperasi itu kumuh dan kusam, tidak bergengsi. Mereka lupa kearifan lokal-nya sendiri, lupa gotong royong. Kurang luas pengetahuan teoritis dan empirisnya. Coba kalau mereka tahu berapa besar Nonghyup di Korea, Zen-Noh di Jepang, Fonterra di Selandia Baru atau CHS di Amerika Serikat. Semuanya koperasi. Ini bahaya, Gusti. Ini ignoransi atau ketidak taatan kaum intelektual yang halus terhadap Konstitusi. Mereka jadi tukang teori orang lain, bukan guru bagi bangsanya sendiri.”

Cepot: (Ceplas-ceplos) “Jangan-jangan mereka kena sihir ‘pandangan Astina pura’, Ki! Dijieun supaya gumantung terus sama sistem kapitalisme global yang membuat kita jadi kuli di negeri sendiri! Mereka tidak sadar akan berkembangnya “bad Samaritans”.

Yudistira: “Cepot benar. Ini adalah strategi Astina untuk melemahkan kita. Mereka takut jika koperasi Pandawa kuat, maka kita akan benar-benar merdeka 100%. Maka mereka menelorkan ribuan sarjana ekonomi yang hanya paham shareholder value, tetapi buta terhadap member value dan social value.”

Kresna: “Maka tugas kita adalah mengembangkan budaya “Tropikanisasi-Kooperatisasi”! Menjaminkan nilai-nilai luhur Nusantara seperti gotong royong, kekeluargaan, dan kemandirian ke dalam tubuh ilmu koperasi. Kita harus membangun epistemologinya, mengajarkannya dari kampus hingga ke desa, dan melahirkan guru-guru besar yang bukan hanya pintar bicara teori, tetapi juga paham praktik koperasi dalam upaya memberdayakan ekonomi rakyat.”

Semar: “Anu penting tindakan! Mulai dari akar. Jadikan koperasi bukan sekadar badan usaha, tapi badan pencerdasan dan badan pembangunan karakter bangsa. Jangan sampai jiwa cooperation urang sare, terus neangan competition. Ayo urang mengoperasikan Nusantara!”

(Epilog: Pencarian yang Tak Kunjung Usai)

Semar: (Setelah semua berbicara, dengan wajah teduh namun getir) “Para gusti, jawaban dari pertanyaan kita hari ini sebenarnya sudah jelas. Pencarian Guru Besar Ilmu Koperasi di Karang Tumaritis ini akan berakhir dengan kenyataan pahit: Guru Besar itu tidak akan pernah ada.”

(Diam menyelimuti pendopo. Semua tertegun).

“Bukan karena tidak ada yang pantas, tapi karena koperasi memang belum diakui sebagai rumpun ilmu mandiri seperti pertanian atau pertahanan. Ia menjadi yatim piatu di negeri sendiri, terjepit di antara disiplin ilmu yang sudah mapan.”

“Koperasi tak punya ‘kerajaan epistemologis’ sendiri. Ia hanya jadi anak tiri di fakultas ekonomi, atau jadi mata kuliah pinggiran di program studi sosiologi. Tak ada departemen, tak ada fakultas, apalagi profesor yang khusus mendalami ilmu perkoperasian.”

“Inilah paradox terbesar bangsa kita: konstitusi memerintahkan, tetapi akademisi mengabaikan. Kaum intelektual kita lebih bangga mengutip teori Smith, Keynes, atau Marx daripada mengembangkan teori koperasi Nusantara. Mereka bukan ‘guru’ bagi bangsanya sendiri.”

“Jadi, Guru Besar Ilmu Koperasi tidak akan kita temukan di Karang Tumaritis hari ini. Ia mungkin akan lahir bukan dari kampus bergengsi, tapi dari lapangan. Dari petani yang berkoperasi, dari nelayan yang berhimpun, dari rakyat kecil yang menyadari bahwa kerjasama adalah jalan mereka menuju kedaulatan.”

“Pencarian kita hari ini bukanlah kegagalan, tapi awal dari kesadaran: bahwa kita harus menciptakan sendiri rumpun ilmu ini, dengan atau tanpa pengakuan akademis formal.”

(Dialog ditutup dengan komitmen semua pihak untuk mulai menuliskan epistemologi koperasi Nusantara, sementara Cepot bersiap menyebarkan semangat ini ke pelosok desa dengan atau tanpa gelar guru besar).