Koperasi sebagai Ilmu yang Terlambat Dilahirkan: Semangat dari Karang Tumaritis untuk Indonesia Emas 2045
[Serial Tropikanisasi-Kooperatisasi – Edisi 20 September 2025]
Oleh: Agus Pakpahan
Pendopo Agung, Senja di Kaki Gunung Tampomas
Bapak Semar duduk di tengah pendopo, dikelilingi oleh Gareng, Dawala, dan Cepot. Yudistira duduk tegak penuh ketenangan, sementara Kresna memandang jauh dengan kewibawaan. Arjuna, Nakula, Sadewa, dan Gatotkaca hadir khidmat. Tak ketinggalan Dewi Arimbi, Dewi Subadra, dan Purbakesa—saudara Gatotkaca yang mewakili kaum raksasa baik.
Semar menghela napas panjang. “Anak-anakku, seperti buah apel yang jatuh dari pohon—ribuan tahun orang melihatnya, tetapi hanya Newton yang memahami gravitasinya. Demikian pula koperasi: telah ada berabad-abad, tetapi masih terbelenggu dalam ‘zaman kegelapan’ akademik.”
Gareng mengernyit. “Maksudnya bagaimana, Bapak ? Bukankah koperasi sudah ada di mana-mana?”
Dawala menjawab bijak, “Itu masalahnya, Gareng! Koperasi seperti gravitasi sebelum Newton—dilihat semua orang, tetapi tidak dipahami hakikatnya. Tanpa ilmu mandiri, kita hanya punya praktik tanpa optimasi, kebijakan trial-error, dan potensi terpendam.”
Kresna lalu berbicara dengan suara tenang. “Lihatlah negara maju yang telah mengakui koperasi sebagai bidang keilmuan. Di Kanada, University of Saskatchewan memiliki Centre for the Study of Co-operatives yang diakui internasional. Di Spanyol, Mondragon University yang dikelola koperasi bahkan memiliki fakultas bisnis koperasi berstandar global.”
Yudistira menambahkan, “University of Helsinki di Finlandia menawarkan Master’s Degree in Cooperative Business. Jepang melalui Japan Cooperative Alliance mengembangkan kurikulum nasional dan sertifikasi profesional koperasi. Inilah yang membuat koperasi mereka maju dan kontribusinya terhadap perekonomian signifikan.”
Skala Raksasa Koperasi Global: Bukti Perlunya SDM Berkualitas
Nakula menunjukkan data yang mencengangkan. “Lihatlah skala bisnis koperasi global: Zen-Noh di Jepang dengan revenue USD 64 miliar (setara Rp 960 triliun), Nonghyup Korea dengan USD 56 miliar (Rp 840 triliun), dan CHS Inc. Amerika dengan USD 32 miliar (Rp 480 triliun).”
Bapak Semar melanjutkan dengan suara menggema: “Anak-anakku, bandingkan dengan BUMN dan konglomerat kita! Pendapatan Pertamina, BUMN terbesar kita pada tahun 2024 mencapai Rp Rp1.194 triliun atau hanya 1.24 kali lipat pendapatan Zen-Noh. Nah, perusahaan swasta terbesar Indonesia adalah Astra International. Berapa pendapatannya? Pendapatannya Rp 316,56 triliun. Artinya, pendapatan Astra International berada di bawah pendapatan koperasi Zen-Noh, Nonghyup dan CHS.
Sadewa menyela, “Enterprise sebesar itu mustahil dikelola tanpa SDM terdidik berkaliber universitas. Mereka membutuhkan manajer strategis, akuntan profesional, ahli teknologi, dan spesialis governance yang kompeten. Bayangkan kompleksitas mengelola bisnis dengan skala triliunan rupiah!”
Gatotkaca bersemangat. “Bandingkan dengan Koperasi Kredit Keling Kumang (KKKK) kita yang dalam 32 tahun ‘hanya’ mencapai aset Rp 2,23 triliun. Prestasi KKKK ini luar biasa. Lokasinya berada di pedalaman sungai Kapuas, Kalimantan Barat. 72% dari 230.000 anggotanya adalah petani kecil. Tidak berutang kepada Bank, apalagi utang luar negeri. Dan dapat dikatakan mandiri tanpa bantuan pemerintah. Hebatnya KKKK sudah memiliki Institut Teknologi Keling Kumang di Kabupaten Sekadau. Untuk mengejar ketertinggalan, kita butuh ribuan sarjana koperasi berkualitas!”
Cepot terkesima: “Lha, berarti selama ini kita salah paham tentang koperasi? Selama ini yang kita tahu koperasi ya cuma simpan pinjam saja…”
Mengapa Koperasi Perlu Diakui sebagai Ilmu Mandiri?
Dewi Subadra memberikan perspektif edukasi. “Skala bisnis koperasi global membuktikan bahwa mereka membutuhkan profesional dengan pendidikan khusus. Zen-Noh dengan 300+ afiliasi membutuhkan manajer yang memahami prinsip keanggotaan dan bisnis modern.”
Dewi Arimbi menambahkan, “Nonghyup Korea yang melayani 2,4 juta anggota memerlukan sistem governance canggih dan SDM yang menguasai teknologi digital. Ini bukan bisa dikelola dengan pengetahuan konvensional saja.”
Purbakesa memberikan analogi sederhana. “Mengelola warung kopi dan restoran franchise internasional jelas membutuhkan keahlian berbeda. Demikian pula mengelola koperasi skala UKM dengan enterprise level global.”
Langkah Menuju Revolusi Ilmu Koperasi
Arjuna bersemangat. “Kita perlu mengadopsi model Cooperative Grant University (CGU) seperti Land Grant University di AS, tetapi disesuaikan dengan konteks Indonesia. Kita bisa belajar dari kesuksesan University of the Basque Country di Spanyol.”
Kresna merinci langkah konkretnya:”
1. Pengakuan Formal:
Kemendikbud harus memasukkan koperasi atau perkoperasian dalam klasifikasi rumpun ilmu sehingga rumpun ilmu koperasi atau perkoperasian menjadi bagian dari kebijakan Pemerintah
2. Institusi Akademik: Perguruan terpilih membuka prodi Ilmu Koperasi
3. Riset dan Pengembangan: Kompetisi riset internasional dan jurnal ilmiah khusus
4. Sertifikasi Profesional: Mengembangkan standar kompetensi seperti di Jepang”.
Yudistira menegaskan. “Dengan skala bisnis koperasi global yang mencapai ratusan triliun, kita membutuhkan minimal 10.000 sarjana koperasi berkualitas setiap tahunnya untuk dapat bersaing pada level internasional.”
Penutup: Semar Menyampaikan Amanat
Bapak Semar berdiri, matanya berbinar. “Anak-anakku, dunia telah membuktikan bahwa pengakuan akademis koperasi membawa kemakmuran. Enterprise sebesar Zen-Noh, Nonghyup, dan CHS Inc. menunjukkan bahwa koperasi bukan main-main. Ini bisnis serius yang membutuhkan ilmu serius.”
“Mondragon di Spanyol, Saskatchewan di Kanada, Helsinki di Finlandia—semua menunjukkan jalan. Sekarang saatnya Indonesia mengikuti jejak mereka, dengan caranya sendiri yang khas dan unik. Kita perlu mencetak ribuan sarjana koperasi untuk mengelola enterprise kelas dunia!”
“Yang menyedihkan, koperasi terbesar kita masih sangat jauh lebih kecil dari Zen-Noh. Ini bukan karena tidak mampu, tapi karena kita belum serius membangun ilmu dan SDM koperasi yang profesional.”
Para punakawan serempak berseru, “Kami siap, Bapak Semar! Kami akan wujudkan ilmu koperasi Indonesia yang membanggakan berdasarkan Pancasila dan UUD ‘45, khususnya Pasal 33!”
Dialog berakhir dengan semangat baru, menggabungkan kebijaksanaan tradisional dengan bukti-bukti kesuksesan global.
#TropikanisasiKooperatisasi
#IlmuKoperasiUntukIndonesiaEmas2045
#BelajarDariNegaraMaju
#CGUIndonesia